Pada akhir zaman ini, nilai-nilai islam sangat terasa asing. Nilai-nilai ini mulai pudar diterjang budaya sekuler yang sangat bertentangan jauh dengan islam. Para aktivis pun terus berusaha membendung gelombang pendidikan sekuler yang sudah banyak menenggelamkan manusia ini.
Sedikit-demi sedikit mereka bahu-membahu membangun paradigma Islam. Salah satunya melalui kajian-kajian Islam yang mereka selengarakan. Dan alangkah beruntungnya kita yang bisa menghadiri majelis ilmu tersebut. Karena Baginda Rasulullah SAW menyebut-nyebut adanya ‘taman surga’, bukan di surga, tetapi di dunia ini.
Anas bin Malik ra, menuturkan bahwa Baginda Rasulullah SAW pernah bertanya kepada para Sahabat, “Jika kalian melewati taman-taman surga, makan dan minumlah di dalamnya.” Para Sahabat bertanya, “Apakah taman surga itu, wahai Rasulullah?” Jawab beliau, “Halaqah-halaqah (majelis-majelis) dzikir.” (HR at-Tirmidzi).
Melalui hadits ini, tegas Rasulullah menyamakan majelis dzikir dengan taman surga, tentu dari sisi kemuliaan dan keutamaannya, sekaligus menyebut orang yang ada di majelis-majelis dzikir sebagai orang-orang yang sedang menikmati hidangan di taman-taman surga itu (Syarh Ibn Bathal, II/5). Keutamaan taman surga tentu tak bisa dibandingkan dengan taman dunia. Sebab, surga itu sendiri dan apa saja yang ada di dalamnya belum pernah terlihat oleh mata, terdengar oleh telinga atau terbersit di dalam kalbu manusia (Tafsir ath-Thabari, XVII, 346).
Lalu apa yang dimaksud dengan majelis dzikir?
Dalam hadits lain Rasul SAW menyebut taman-taman surga itu dengan majelis-majelis ilmu. Inilah yang juga dipahami oleh para Sahabat seperti Abu Hurairah ra dan Ibn Mas’ud ra (Fauzi Sinaqart, At-Taqarrub iilla Allah). Imam al-Qurthubi juga menyebut majelis-majelis dzikir yang dimaksud adalah majelis ilmu tentang halal dan haram. Adapun menurut Imam al-Ghazali, yang dimaksud adalah majelis ilmu-ilmu akhirat; ilmu tentang Allah SWT dan kekuasaan-Nya serta penciptaan-Nya (Faydh al-Qadir, I/696).
Generasi terdahulu adalah orang-orang yang amat memahami keutamaan ilmu dan majelis ilmu. Lalu bagaimana dengan generasi umat Islam hari ini?
Sayang, meski kebanyakan majelis ilmu itu gratis, menjanjikan keutamaan yang luar biasa saat hadir di dalamnya sebagaimana sabda Baginda Rasulullah SAW di atas, tak banyak orang yang berbondong-bondong untuk menghadirinya. Buktinya, meski majelis ilmu menjamur di mana-mana, biasanya yang hadir jumlahnya bisa dihitung dengan jari. Bandingkan dengan “majelis sepak bola” atau “majelis konser musik”; meski setiap orang harus mengeluarkan puluhan atau bahkan ratusan ribu untuk membeli karcis masuk, toh peminatnya selalu membludak walau harus berdesak-desakan. Padahal jelas, “majelis-majelis” semacam ini tak menjanjikan apa-apa selain kesenangan sesaat.
Itulah realitas generasi umat hari ini. Mereka benar-benar telah ‘buta’, tak lagi dapat melihat keutamaan dan keindahan taman-taman surga. Na’udzu billah min dzalik.
Terkait ilmu dan keutamaan majelis ilmu, juga kemuliaan para pencarinya, diterangkan oleh banyak hadits, selain hadits di atas. Baginda Rasulullah SAW, misalnya, pernah bersabda, “Mencari ilmu adalah kewajiban setiap Muslim.” (HR Muslim).
Katsir bin Qays berkata:
Saya pernah duduk bersama Abu ad-Darda di Masjid Damakus. Tiba-tiba datang seseorang kepada dia dan berkata, “Wahai Abu ad-Darda, saya datang kepada engkau dari Madinatur Rasul SAW demi memastikan suatu hadits yang sampai kepada diriku, bahwa engkau pernah membicarakan hadits itu dari Rasul SAW, yang tentu sangat aku butuhkan.” Abu ad-Darda lalu berkata, “Aku memang pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Siapa saja yang menempuh jalan untuk menuntut ilmu, niscaya Allah akan membuka bagi dirinya salah satu jalan di antara jalan-jalan menuju surga. Sesungguhnya para malaikat benar-benar meletakkan sayap-sayap mereka karena ridha kepada pencari ilmu. Sesungguhnya seorang yang berilmu (ulama) benar-benar dimintakan ampunan kepada Allah bagi dirinya oleh siapa saja yang ada di langit dan di bumi, hingga bahkan ikan-ikan di air. Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu atas orang yang suka beribadah adalah seperti keutamaan cahaya bulan purnama atas cahaya seluruh bintang di malam hari. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi itu tidak mewariskan dinar atau dirham, tetapi mewariskan ilmu. Karena itu, siapa saja yang mengambil ilmu, berarti dia telah mengambil sesuatu yang amat berharga.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad).
Allah SWT berfirman (yang artinya),
“Sesungguhnya (manusia) yang takut kepada Allah hanyalah para ulama.” (TQS Fathir [35] 28).
Terkait ayat di atas, Ibn Mas’ud ra, “Kafa bi khasy-yatillLah ‘ilma (Cukuplah takut kepada Allah sebagai [buah] ilmu).”
Salah seorang ulama salaf berkata, “Laysal-‘ilmu bi katsratir-riwayah walakinal-‘ilma bikatsratil-khasy-yah." Ilmu itu tidak identik dengan banyaknya periwayatan, tetapi identik dengan banyaknya rasa takut (kepada Allah SWT).
Ulama lain berkata, “Man khasyiyalLah fa huwa ‘alim wa man ‘ashahu fa huwa jahil (Siapa saja yang takut kepada Allah, dialah orang berilmu. Siapa saja yang bermaksiat kepada Allah, dia adalah orang bodoh).”
Hal ini mudah dipahami.
Pasalnya, sesungguhnya ilmu yang bermanfaat menunjukkan pada dua perkara.
Pertama: mengenal Allah (Ma’rifatulLah) berikut nama-nama-Nya yang indah (al-asma’ al-husna), sifat-sifat-Nya yang tinggi dan segala tindakan-Nya yang agung. Inilah yang menjadikan seorang yang berilmu memuliakan dan mengagungkan Allah; takut dan khawatir kepada-Nya; cinta dan berharap kepada-Nya; tawakal dan ridha terhadap qadha’-Nya; serta sabar atas segala ujian-Nya yang menimpa dirinya.
Kedua: mengetahui apa saja yang Allah suka dan ridhai; memahami apa saja yang Allah benci dan murkai baik menyangkut keyakinan, perbuatan yang tampak maupun yang tersembunyi, maupun ucapan. Hal demikian menjadikan orang berilmu bersegera menunaikan apa saja yang bisa mendatangkan cinta dan ridha Allah kepada dirinya serta menjauhi apa saja yang bisa mendatangkan kebencian dan murka Allah atas dirinya.
Jika ilmu menghasilkan buah semacam ini pada pemiliknya, berarti ilmunya adalah ilmu yang bermanfaat. Saat ilmu benar-benar bermanfaat pada diri seseorang, saat itulah kalbunya dipenuhi rasa takut dan ketundukan kepada Allah; wibawa dan kemuliaannya rendah di hadapan-Nya; takut dan cinta kepada Allah menyatu dalam kalbunya; dan dia selalu mengagungkan-Nya.
Saat kalbu merasa takut kepada Allah serta tunduk dan pasrah kepada-Nya, saat itulah jiwa merasa puas (qana’ah) dan kenyang dengan harta yang halal walau sedikit. Itulah yang menjadikan dirinya bersikap zuhud terhadap dunia (Ibn Rajab, Fadhl ‘Ilmi as-Salaf ‘ala al-Khalaf, I/7).
Sayang, sebagaimana dinyatakan oleh sebagian sahabat Nabi SAW, “Ilmu yang pertama kali dicabut oleh Allah adalah (yang melahirkan) rasa takut kepada Allah SWT.”
Karena itu Al-Hasan berkata, “Ilmu itu ada dua macam. Pertama: Ilmu yang hanya di lisan. Inilah yang akan Allah pertanyakan kepada anak Adam. Kedua: Ilmu yang menghujam dalam kalbu (yang kemudian diamalkan, pen.). Itulah ilmu yang bermanfaat.”
Ilmu yang bermanfaat tentu adalah ilmu yang digali dari Alquran dan as-Sunnah. Jika ilmu tidak digali dari keduanya, tentu ilmu itu tidak bermanfaat, bahkan bisa mendatangkan madharat; atau madharatnya lebih banyak daripada manfaatnya.
Di antara tanda-tanda ilmu yang tidak bermanfaat adalah yang menjadikan pemiliknya merasa bangga, angkuh dan sombong. Ia menuntut ilmu semata-mata demi meraih martabat dan kedudukan yang bersifat duniawi. Dengan ilmunya ia berniat ingin menyaingi para ulama, merendahkan orang-orang awam dan berupaya menarik perhatian manusia kepada dirinya (riya dan sum’ah). Orang semacam ini memiliki sejumlah ciri antara lain: enggan menerima dan tunduk pada kebenaran; sombong terhadap orang yang menyatakan kebenaran, terutama dari orang yang dianggap rendah oleh masyarakat; tetap dalam kebatilan karena khawatir masyarakat berpaling dari dirinya jika ia merujuk pada kebenaran.
Justru karena ilmu lah mereka bersikap rendah hati (tidak sombong) baik secara lahiriyah maupun batiniyah. Karena itu di antara tanda-tanda orang yang ilmunya bermanfaat adalah: mereka tidak menganggap diri mereka memiliki kedudukan istimewa; tidak suka merasa dirinya suci; enggan dipuji; dan tidak sombong terhadap siapapun.
Ibn Umar juga berkata, “Orang yang ilmunya bermanfaat itu, jika ilmunya bertambah maka bertambah pula sikap tawaduk, rasa takut dan ketundukannya kepada Allah SWT.” (Ibn Rajab, Fadhl ‘Ilmi as-Salaf ‘ala al-Khalaf, I/8).
Kesimpulan
Sebenarnya ilmu hanyalah merupakan suatu alat untuk mendekatkan diri kita kepada Allah. Adapun fungsi ilmu itu antara lain adalah:
1. Sebagai petunjuk keimanan (QS. 22:54, 3:7, 35:28)
2. Sebagai petunjuk beramal
Keutamaan manusia dari makhluk Allah lainnya terletak pada ilmunya. Allah bahkan menyuruh para malaikat agar sujud kepada Nabi Adam as karena kelebihan ilmu yang dimilikinya. Cara kita bersyukur atas keutamaan yang Allah berikan kepada kita adalah dengan menggunakan segala potensi yang ada pada diri kita untuk Allah atau di jalan Allah.
Jadi sudah seberapa besarkah kita menuntut ilmu untuk bekal ke surga?
No comments:
Post a Comment